Pemerintah mengusulkan untuk mengurangi kuota BBM bersubsidi jenis Premium pada RAPBN 2012. Pemerintah menginginkan kuota turun dari 40 juta kiloliter menjadi 37,8 juta kiloliter mulai 2012 nanti.
Selisih anggaran subsidi dari pengurangan kuota itu direncanakan menjadi dana cadangan risiko fiskal. Pemerintah tetap berupaya untuk mengejar kuota pada 37,8 kiloliter, namun jika ada selisih Pemerintah siap untuk menjelaskan kepada DPR.
"Kita berusaha kejar 37,8 juta kiloliter, tapi kalau
seandainya tidak tercapai kita bisa jelaskan ke DPR untuk kita bisa jelaskan
selisih itu karena itu sudah masuk dalam cadangan risiko," kata Menteri
Keuangan Agus Martowardojo saat rapat dengan Badan Anggaran DPR, Senin (10/10).
Kuota 40 juta kiloliter dalam RAPBN itu terdiri dari 24,4 juta kiloliter Premium dan 15,6 minyak tanah dan solar. Jumlah itu diusulkan diubah menjadi 37,8 kiloliter yang terdiri dari 22,2 juta kiloliter Premium dan 15,6 minyak tanah dan solar.
Menurut Agus, dengan rata-rata konsumsi premium delapan persen selama lima tahun terakhir tanpa ada pengaturan volume BBM bersubsidi pada 2012 diperkirakan mencapai 43,7 juta kiloliter. Itu merupakan konsumsi Premium yang natural.
"Konsumsi Premium untuk 2012 menjadi 37,8 juta kiloliter. Jangan dilihat dari 40 juta kiloliter ke 37,8 juta kiloliter, tapi dari 43,7 kiloliter jadi 37,8 juta kiloliter," kata Agus. Dia mengakui, penurunan kuota itu berdampak pada angka inflasi.
"Dampak ke inflasi dari 40 juta kiloliter turun ke 37,8 juta kiloliter akan memberikan tekanan pada inflasi 0,5-0,6 persen, dan itu harus diperhatikan karena kita di 2012 mengasumsikan inflasi di 5,3 persen. Ini yang jadi perhatian kita," tandas Agus.
Kuota 40 juta kiloliter dalam RAPBN itu terdiri dari 24,4 juta kiloliter Premium dan 15,6 minyak tanah dan solar. Jumlah itu diusulkan diubah menjadi 37,8 kiloliter yang terdiri dari 22,2 juta kiloliter Premium dan 15,6 minyak tanah dan solar.
Menurut Agus, dengan rata-rata konsumsi premium delapan persen selama lima tahun terakhir tanpa ada pengaturan volume BBM bersubsidi pada 2012 diperkirakan mencapai 43,7 juta kiloliter. Itu merupakan konsumsi Premium yang natural.
"Konsumsi Premium untuk 2012 menjadi 37,8 juta kiloliter. Jangan dilihat dari 40 juta kiloliter ke 37,8 juta kiloliter, tapi dari 43,7 kiloliter jadi 37,8 juta kiloliter," kata Agus. Dia mengakui, penurunan kuota itu berdampak pada angka inflasi.
"Dampak ke inflasi dari 40 juta kiloliter turun ke 37,8 juta kiloliter akan memberikan tekanan pada inflasi 0,5-0,6 persen, dan itu harus diperhatikan karena kita di 2012 mengasumsikan inflasi di 5,3 persen. Ini yang jadi perhatian kita," tandas Agus.
Berikut ini berbagai argumentasi
yang mendukung pengurangan subsidi BBM:
1. Ketersediaan SDA
minyak makin berkurang, maka perlu digunakan secara bijak.
Harga BBM yang murah di Indonesia
dibandingkan dengan beberapa Negara di luar, menyebabkan konsumsi BBM amat
tinggi. Ketergantungan terhadap minyak
sebesar 48.4%. Pengurangan subsidi BBM otomatis menyebabkan kenaikan harga BBM.
Diharapkan kenaikan harga ini mendorong agar masyarakat berhemat. Lebih lagi
kalau bisa mengurangi pemakaian kendaraan bermotor pribadi.
2. Subsidi dari awal
tidak tepat sasaran, jadi tak apa dikurangi.
Lagu lama bahwa subsidi BBM tidak tepat
sasaran karena 40% lebih
konsumsi BBM digunakan oleh kelompok berkemampuan atas di
Indonesia. Jadi tak apa mengurangi subsidi BBM karena sedari awal orang-orang
mampu lah yang akan banyak membayar.
3. Diversifikasi
dilakukan secara paralel dengan pencabutan subsidi.
Melihat Negara Brazil yang sudah menerapkan diversifikasi
energi, bahwa mereka dahulu berkorban untuk mengalami ‘musibah’ nasional
sembari mengembangkan sumber energi selain minyak.
4. Konsekuensi logis
untuk mengimpor
Konsekuensi Logis Sistem PSC membuat
Indonesia mengekspor minyak mentah ke luar negeri, sehingga minyak mentah yang
masuk ke kilang ±570 ribu barrel. Kapasitas kilang Indonesia sebesar 1,157 juta
barrel. Sementara konsumsi BBM di Indonesia sudah mencapai 1,3 juta barrel.
Konsumsi yang tinggi ini memaksa Indonesia harus impor BBM meski ada yang
diekspor pula.
5. Mendukung karena
enggan terjadi demonstrasi.
Frame yang terbangun adalah, menyatakan sikap
menolak berarti –> demonstrasi. So,
dukunglah pengurangan subsidi BBM agar tidak terjadi demonstrasi.
Sedangkan berikut ini adalah berbagai
argumentasi penolakan terhadap pengurangan subsidi BBM:
1. Perhitungan yang
aneh dan belum ada kejelasan alokasi dana.
Aneh saat pemerintah memutuskan untuk
menghemat sekitar Rp 50 Triliun melalui alokasi subsidi BBM, namun memberikan
kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai Sementara (BLSM) ke 74 juta warga
miskin yang besarnya Rp 25 Triliun + untuk angkutan umum sekitar Rp 5 Triliun.
Cuma dapat Rp 20 Triliun.
Bagi yang menggunakan argumen ini pastilah
menolak pengurangan subsidi BBM, dan meminta agar pemerintah mengkaji ulang
alokasi dana dari penghematan subsidi BBM.
2. Penggunaan dana
APBN tidak efisien.
»
APBN bocor rata-rata 30% tiap tahun (Dr. Fuad
Bawazier, Mantan Menteri Keuangan RI).
»
Belum
sehatnya proses pengadaan selama ini menyebabkan keuangan negara mengalami
“kebocoran” antara 10% – 50% per tahun (Agus Raharjo, Kepala Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Mengutip kalimat Sudjiwo Tedjo kurang lebih
seperti ini, “Aku ngerti klo BBM memang harus
naik, tapi ini bukan masalah harganya apa bukan. Ini kekecewaan yang ‘udah
numpuk!”
Pernyataan kebocoran memang belum disertai
data memadai mengenai sektor mana saja yang bocor. Namun, melihat anggaran
lalu-lalu yang banyak digunakan untuk biaya studi banding, renovasi ruangan
rapat, dll. Hal inilah yang kemudian menimbulkan sakit
hati masyarakat.
3. Sudahkah kembali
melirik Blueprint Pengelolaan Energi Nasional?
Banyak yang telah sadar bahwa konsumsi BBM di
Indonesia itu terlampau tinggi sementara persediaan minyak kian menurun. Oleh
karena itu, mungkin terpikirkan bahwa kenaikan harga BBM-lah yang paling tepat
agar konsumsi berkurang. Padahal sedari dulu sudah amat banyak pihak
mengusulkan agar diversifikasi sumber energi segera ditingkatkan dan jangan
lupa bahwa Indonesia memiliki Blueprint PEN 2006-2025.
Masalah pengurangan subsidi BBM ini
sesungguhnya dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Mau pilih
dilaksanakan paralel (harga BBM naik, dan infrastruktur mulai dibenahi) atau…
Harga BBM harus naik, tapi apakah saat ini adalah saat yang tepat? Ketika
sarana-prasarana untuk meningkatkan diversifikasi energi belum memadai serta
transportasi massal masih harus diperbaiki? Sementara daya beli masyarakat pun
tak kunjung meningkat.
4. Rakyat tercekik
Pengurangan subsidi BBM à Kenaikan
harga BBM à Kenaikan harga bahan pokok (pangan dll) ß Daya beli
masyarakat tidak meningkat.
Argumen ini sepertinya merupakan argumen
paling sederhana yang dikemukakan. Kenaikan harga BBM sebesar Rp 1500/liter
dapat memicu kenaikan inflasi 2.15%, penurunan daya beli 2.10%, penambahan
kemiskinan 0.98%.
Yang mengusung argumen ini pastilah meminta
agar pemerintah terlebih dahulu memberi ruang kekondusifan bagi industri dan
UKM agar nantinya dapat memperluas lapangan pekerjaan. Juga pembenahan transportasi
massal dan infrastruktur pendukung lainnya. Ya kumur-kumur sana.
Padahal masyarakat bayar pajak, dan uang
itulah yang dikelola oleh pemerintah agar dapat menyejahterakan masyarakat
melalui ketersediaan sistem, fasilitas, sarana-prasarana, dll.
5. PNBP dan PPh
(Pajak Penghasilan) dari Migas seharusnya sudah mencukupi untuk menutupi
kebutuhan subsidi BBM.
Pada APBN 2012 dicantumkan, persentase
subsidi energi terhadap APBN sebesar 14,79% sementara persentase total
pendapatan Negara dari migas terhadap APBN sebesar 15,35%. Namun, mengapa
Negara masih kekurangan dana? Hal ini dikabarkan karena perusahaan-perusahaan
migas yang ada di Indonesia banyak yang tidak membayar pajak sesuai dengan
jumlah yang diwajibkan, dan ini berlangsung dari tahun ke tahun. Artinya, tidak
terdapat tindakan tegas dari pemerintah terhadap permasalahan ini.
Di samping itu, PNBP dan PPh Migas
menunjukkan tren naik tiap tahun, sehingga tidak ada alasan bahwa harga minyak
dunia naik maka kekurangan dana untuk mensubsidi BBM.
6. Jumlah penerima
BLSM berbeda dengan data BPS.
Tahun 2011, jumlah penduduk kategori miskin
yang tercatat di Biro Pusat Statistik (BPS) sejumlah 30 juta. Namun, pemerintah
ingin memberikan kompensasi berupa BLSM yang ditargetkan kepada 74 juta jiwa
penduduk miskin.
7. Mengubah mekanisme
distribusi BBM bersubsidi lebih tepat ketimbang harus mengurangi subsidi.
Jika pemerintah mengatakan bahwa distribusi
BBM bersubsidi tidak adil karena 53%-nya dinikmati oleh pengguna kendaraan
bermotor pribadi, maka jawabannya bukan dengan menaikkan harga, tetapi
bagaimana mengendalikan distribusi BBM secara terkendali, akuntabel dan
transparan, sehingga distribusinya dapat dipertanggungjawabkan.
Sehingga subsidi memang tepat guna, diberikan kepada yang
benar-benar membutuhkan (motor, angkutan umum, kapal nelayan, dll) yang memang
layak disubsidi. Kenaikan harga BBM jika tidak dibarengi dengan
upaya peningkatan daya beli masyarakat, toh sama saja.
8. Indikasi salah
urus di sektor Pengelolaan Produksi & Distribusi Nasional
Berapa sesungguhnya kapasitas produksi minyak
Pertamina? Kenapa terus menurun? Bocor kemanakah? Berapa tingkat kebocoran yang
terjadi? Sudahkah kinerja BUMN menunjukkan performa sehat? Ini
pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah terungkap ke publik.
Padahal seharusnya masyarakat senang jika
terjadi kenaikan harga minyak dunia, bukannya dianggap sebagai bencana, jika
target produksi dalam negeri oleh Pertamina tercapai. Dari sini sudah terlihat
indikasi adanya ‘salah urus’ di sektor pengelolaan produksi dan
distribusi nasional. Kalau minyak jadi semakin mahal maka pajak penerimaah
bagi Negara meningkat, sehingga keseimbangan kenaikan dan penerimaan pun
terjadi.
9. Kenaikan harga BBM diperkirakan tidak
berpengaruh signifikan terhadap pengurangan konsumsi BBM.
Argumen pro, salah satunya ialah dengan
kenaikan harga BBM menjadi Rp 6000/ liter diharapkan masyarakat terstimulus
untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
Salah satu contoh, sektor
pertanian-perkebunan warga (yang tidak tergolong industri) tidak dapat
dipungkiri bahwa distribusi bahan pangannya masih menggunakan kendaraan roda
dua/empat. Apabila jumlah produksi tetap, dengan prasarana trasnportasi juga
tetap, maka konsumsi BBM pun otomatis akan tetap. Frekuensi distribusi juga
tetap. Yang berbeda? Harga BBM-nya meningkat Rp 1500/liter.
Untuk pengguna kendaraan pribadi, sepertinya
memang harus melalui wawancara atau survei yang lebih komprehensif. Paragraf di
atas sekedar contoh bagi masyarakat non industri.
Lantas bagaimana agar pengguna kendaraan
pribadi berkurang? Solusi yang muncul ialah dengan menaikkan
pajak kendaraan bermotor agar jumlah permintaan makin menurun.
10. Kenapa harus ekspor
minyak?
Konsumsi rata-rata minyak Indonesia: 1300
million barrel crude oil per day
(MBCD), sedangkan rata-rata lifting minyak Indonesia: 950 MBCD. Dari 950 itu
sekitar 395 MBCD diekspor ke luar negeri.
“Kenapa kok ngekspor, padahal kebutuhan dalam
negeri saja tidak mencukupi?”
Karena pemilik 395 MBCD ini bukan pemerintah, tapi perusahaan asing contohnya
Exxon, BP, Chevron, dsb. yang diatur dalam UU Migas. Sehingga kebijakan ekspor
sekitar 395 MBCD ini bukan wewenang pemerintah, tapi sepenuhnya hak
perusahaan-perusahaan tersebut.
Maka untuk memenuhi defisit ini, pemerintah
mengimpor BBM sekitar 340 MBCD dan minyak mentah 313 MBCD untuk kemudian diolah
Pertamina. Sehingga jelas bahwa memang Indonesia sekarang negara pengekspor dan
pengimpor minyak mentah.
Dengan argumen ini, maka renegosiasi kontrak
royalti di sektor migas dan pertambangan lah yang paling konkret. Bahkan bisa
sampai revisi UU Migas.
Sumber :